Aku memang terlanjur mencintaimu
Dan tak pernah kusesali itu
Seluruh jiwa telah kuserahkan
Menggenggam janji setiaku
Kumohon jangan jadikan semua ini
Alasan kau menyakitiku
Meskipun cintamu tak hanya untukku
Tapi cobalah sejenak mengerti
Bila rasaku ini rasamu
Sanggupkah engkau menahan sakitnya
Terkhianati cinta yang kau jaga
Coba bayangkan kembali
Betapa hancurnya hati ini kasih
Semua telah terjadi
Cor Vox berarti suara hati. Suara hati yang dimaksud adalah suara pengalaman dari seorang anak manusia yang ingin mencari pengertian dari sebuah pengalaman sehari-hari. Harapan yang ingin dicapai 'Suara Hati' adalah tulisan pengalaman-pengalaman ini membuatku (dan mungkin pembaca) semakin menyadari bahwa hidup ini "nano-nano" dan aku mesti siap menghadapinya. Hadapi realita dengan segala keunikanmu. Satu kalimat buat senua tulisan pengalamanku ini: Gusti nyuwun kawelasan.........!!!!!
Senin, 21 Oktober 2013
Senin, 07 Oktober 2013
MAAFKAN AKU
Hari-hari ini diriku sangat kacau dengan proyek pribadiku. Aku tidak yakin
bisa melaksanakan programm ini dan aku merasa berat untuk melakukannya. Berat
juga berarti aku tidak punya hati untuk melakukannya. Akibatnya hidup
shari-hariku juga berat dan rasanya tak ada hati. Aku sedang mengalami
”pengalaman padang gurun” dan disorientasi diri.
Hal ini juga berakibat
pada orang yang aku sayangi. Dia kena berkas kemarahanku padahal dia tidak salah apapun. Hal ini sudah
terjadi semingguan ini. Aku bukan menjadi diriku, aku menjadi algojo atau setan
yang menyiksa hidupnya. ”AAAhhhhhhhhhhhhhh bodooooooohhhhhhhhh akuuuu”. Sungguh
aku sangat berdosa kepadanya.
Dan tadi aku share dengan
seorang sahabat, menceritakan permasalahanku ini. Dia memberiku kata-kata yang
bagus, baik dan benar. Namun, aku rasa sangat sulit untuk mencapai yang dia
katakan. Tetapi aku bersyukur, katanya-katanya dapat menjadi pegangan bagiku.
Begini ” coba setia dr
yg sangat sederhana, ambil sampah yg tdk pd tmpnya, taruh brg pd tempatnya..dll
tunjukkan kesederhanaanmu itu..apa danya jgn cari muka...jadilah dirimu apa
adanya.. ” dan ” mulai berpikirlah u/
itu harga sebuah kesetiaan itu mahal...”. ya... setia.... aku akan mencoba
kembali setia dan bertahan.
Kamis, 03 Oktober 2013
“Bayangkanlah jika dirimu berada dalam suatu
ruangan yang tidak ada tantangan berbahaya apapun selama kurang lebih delapan
tahun, maka mereka sebenarnya tidak benar-benar hidup.”
Kata-kata
di atas merupakan kata pembuka seorang penerjun bebas dalam cuplikan video
“Existentialism 3”. Cuplikan film ini mencoba menceritakan dan mendeskripsikan
hidup sebagai seorang penerjun bebas. Ketika dia (tokoh dalam film) terbang,
dia terlihat bebas seperti seekor burung yang sedang terbang bebas di udara
lewat celah tebing atau pegunungan. Semua yang ada di bawah terlihat indah
ketika masih terbang di langit. Terbang di langit serasa mimpi indah ketika
seorang tidur. Itulah kebahagiaan seorang penerjun bebas yang dapat terlihat
dalam cuplikan film tersebut.
Akan
tetapi, penerjun bebas akan menemukan tantangannya sebagai seorang seorang
penerjun ketika akan mendarat ke tanah. Tantangannya adalah ia jatuh ke tanah
dalam keadaan patah tulang, berdarah, dan bahkan harus menghadapi kematian. Si
penerjun bebas itu telah merasakan rasa sakit jatuh ke tanah dengan patah
tulang dan badan berdarah. Ia bahkan merasakan harus kehilangan temannya yang
juga penerjun bebas yang mati ketika jatuh mendarat ke tanah. Baginya, kejadian
jatuh tidak dapat dijelaskan secara detail karena terjadi sangat cepat. Saat
ini, ia tidak pernah membayangkan untuk jatuh seperti itu di enam tahun yang
lalu dan tidak pernah merencanakan atau membayangkan apa yang terjadi (jatuh
seperti itu) enam tahun sebelum ia mengalami jatuh itu.
Ia
tidak trauma dan tidak takut dengan keadaan seperti itu. Hal ini justru
membuatnya semangat dan terobsesi untuk melakukannya lagi. Banyak orang tidak
mengerti hal yang sedang ia lakukan karena orang lain tidak dapat merasakan
yang ia rasakan. “Jika kamu bertanya apa yang kamu rasakan tanyalah pada dirimu
sendiri dan alami sendiri untuk mengerti arti bertahan hidup” itulah kata
penutup dari sang penerjun bebas ini.
Analisa dan tanggapan
Cuplikan
film ini berbicara tentang arti keberadaan seseorang dalam hidupnya. Bagi sang penerjun
ia eksis atau ada ketika ia terbang dan mengalami tantangan berbahaya ketika ia
mendarat. Si penerjun bebas itu lalu menghubungkannya dengan hidup. Ia
berpendapat seperti dalam kata-kata kata pembuka di atas, bahwa hidup itu harus
penuh tantangan dan harus menghadapi bahaya. Orang yang hanya hidup dalam dalam
kemapaman dan tanpa tantangan sebetulnya ia telah mati.
Terbang
bebas sendiri mengandung arti yang sangat dalam. Terbang berarti hidup tanpa
kungkungan peraturan dan menembus segala batas-batas kelemahan dan kelebihan
diri. Terbang dapat mengekspresikan segala emosi, hasrat atau keinginan dan
obsesi. Orang dapat melakukan apa
saja yang ia mau tanpa diperintah oleh apapun dan siapapun.
Akan
tetapi, manusia bukanlah burung yang dapat terbang kapanpun ia mau. Ia dapat
terbang secara terbatas dan harus jatuh ke bumi dengan resiko. Hal ini
menandakan bahwa setiap tindakan mempunyai konsekuensi atau tanggung jawabnya.
Konsekuensinya adalah rasa sakit karena harus bertabrakan dengan tingkah laku
orang lain yang berbeda, peraturan yang membatasi dan kungkungan-kungkungan
apapun. Akan tetapi, bagi seorang eksistensialis hal itu tidak akan membuatnya
mundur atau takut untuk menghadapi hidup. Ia akan semakin berani dan kuat dalam
menghadapi hidup karena tidak akan ada yang menghalangi tindakannya kecuali
kematian.
Hal
menarik yang lain ada di kata-kata penutup “Jika kamu bertanya apa yang kamu
rasakan tanyalah pada dirimu sendiri dan alami sendiri untuk mengerti arti
bertahan hidup”. Kiranya kata-kata itu cocok dengan pemikiran Soren Aabey
Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis dari Denmark. Ide eksistensi
Kierkegaard adalah manusia merupakan individual, personal dan subyektif.[1]
Ide ini merupakan prinsip eksistensi manusia. Manusia merupakan mahkluk hidup
yang subyektivitas sebagai individu. Ia utuh sebagai individu. Manusia harus
terlibat dalam setiap pengalaman hidupnya. Ia bukan ’penonton’ dalam setiap
peristiwa kehidupan yang terjadi dalam hidupnya. Jika manusia sebagai
’penonton’, maka ia sama dengan obyek dari pengalaman hidupnya.
Hubungan
kata-kata penutup dengan pemikiran Kierkegaard terletak peran subyek dalam
menghadapi pengalaman hidupnya. Manusia adalah subyek atas pengalaman hidupnya.
Ia harus berani menghadapi setiap pengalaman hidupnya dan bukan hanya menjadi
”penonton”. Pengalaman hidup adalah milik subyek yang sangat pribadi dan unik.
Pribadi dan unik berarti soal penghayatan otentitas pengalaman hidup yang
sangat berbeda dengan orang lain meskipun orang lain pernah merasakan
pengalaman yang sama.
Hal
lain tentang manusia sebagai subyek atau pelaku pengalaman hidupnya adalah
seseorang bukan obyek bagi sesamanya. Hal ini kiranya sejalan dengan pemikiran
Sartre yang menekankan keotentitasan pribadi manusia. Bagi Sartre, pribadi
manusia dipandang sebagai pribadi yang unik. Unik berarti aku lain dari yang
lain. Aku ada untuk bukan karena orang lain menganggap aku ada, tetapi karena
aku ada sepenuhnya.[2] Keselarasan pemikiran Sartre dengan cuplikan film adalah
penerjun bebas adalah sebuah pilihan dari laki-laki dalam cuplikan film ini.
Menurutku, laki-laki itu memilih menjadi seorang penerjun bebas karena sudah
menjadi pilihan hidup yang tidak didasarkan pada kesenangan, kepuasan banyak
orang, ataupun ketenaran. Ia akan tetap melakukan terjun bebasnya meskipun
orang lain tidak ada dan pengalaman terjun bebas tidak akan dirasakan oleh
orang lain jika mereka tidak melakukan seperti yang ia lakukan.
Analisa
di atas menujukkan bahwa seseorang tidak dapat bebas seutuhnya. Kebebasan yang
dialami oleh setiap pribadi hanya dialami sejauh ia dapat mengembangkan
dirinya. Hal ini terjadi karena manusia dalam hidupnya tidak lepas dari
kerangka-kerangka yang telah melekat pada dirinya yang tidak sepenuhnya
disadarinya. Dalam bahasanya Gabriel Marcel, eksistensi merupakan situasi
konkretku di dalam dunia ini dengan seluruh kompleksitasnya yang meliputi semua
faktor konkret.[3] Kalaupun
seseorang dapat bertindak untuk menembus kerangka-kerangka yang ada, hal ini
menandakan bahwa kerangka-kerangka itu telah membuat seseorang tidak
benar-benar hidup dan tidak membuatnya berkembang.
Akhirnya,
kesimpulan tulisan ini hanya berupa deskripsi-deskripsi tentang kebebasan
seorang manusia dalam menjalani pengalaman hidupnya. Mereka tidak ingin di cap
ini atau itu karena mereka bukan obyek bentukan dari orang lain. Mereka adalah
diri mereka sendiri yang merupakan aktor utama bagi pengalaman hidupnya dengan
segala kompleksitas yang melekat pada diri mereka. Salam penutup para
eksistensialis yang kiranya akan diberikan pada setiap orang di dunia ini
adalah ”Jadilah dirimu sendiri”.
Relevansi dengan hidup
Relevansi
eksistensialisme ini akan aku hubungkan dengan pengalaman diriku sendiri. Eksistensialisme
kiranya telah menjadi jalan hidupku tanpa aku sadari. Hal ini terjadi karena
tema-tema eksistensialisme sering
menjadi tema permenunganku. Ada dua penting yang sering aku renungkan adalah
tentang kesendirian dan kekuatan dalam menerima kenyataan dari setiap
pengalaman. Dua tema permenungan dalam hidupku ini akan aku hubungkan dengan satu
tema besar yaitu manusia sebagai subyek pengalaman, yang menjadi jembatan
antara cuplikan film dan analisa di atas.
Manusia
sebagai subyek pengalaman dengan kesendirian berarti akulah aktor utama dalam
setiap pengalaman yang ”aneh” dari yang lain. Kesendirian aku anggap ”aneh”
karena aku tidak sama dengan teman-teman atau orang lain yang pernah aku
jumpai. Ketidaksamaan ini sering
kali aku asing bagi orang lain dan orang lain asing bagiku. Situasi ini memuatku sering mempertanyakan arti
keberadaanku saat ini, di sini dan bagi orang lain. Tendensinya aku merasa
tidak ada gunanya aku hidup.
Di
sisi lain, aku dapat memaknai kesendirian ini secara positif. Kesendirian ini
menandakan bahwa aku adalah subyek pengalaman yang mempunyai kesadaran. Kesendirian
dan kesadaran inilah yang membuatku bebas untuk berbuat sesuai dengan
kehendakku. Kesadaran akan kesendirian membuat aku dapat melihat semua hal
secara jernih, indah, dan berjalan begitu saja tanpa harus aku memberikan
penjelasan apapun karena memang tidak harus diberi penjelasan. Situasi ini
lebih jauh membuat aku bertemu dalam diriku yang lain dalam sebuah ruang kosong
yang tidak akan pernah dilihat oleh orang lain.
Kedua,
manusia sebagai subyek pengalaman dengan kekuatan menerima kenyataan berarti
setiap tindakan mempunyai tanggung jawab yang harus aku terima sebagai
konsekuensi praktisnya. Bagian ini masih terhubung dengan bagian pertama. Pada
bagian pertama, kesendirian seakan aku terbang bebas. Akan tetapi, kadang kala
aku lupa kalau yang aku hadapi adalah manusia-manusia lain,
peraturan-peraturan, sistem-sistem, dan segala hal yang (seperti status) yang
melekat pada diriku tanpa aku sadari.
Aku
masih terbayang-bayangi oleh kehidupan mapan yang damai, bahagia, tanpa sakit,
tanpa penderitaan dan semua telah tersedia begitu saja. Akan tetapi, realita
tidak seperti idealismeku itu. Hasilnya aku takut menghadapi realita pengalaman
yang mengandung segala ketidaknyamanan, berbahaya, dan penuh penderitaan. Aku sering bersembunyi dibalik ke-aku-an ku,
peraturan-peraturan yang ada, dan lari untuk cari amannya sendiri.
Kata-kata
pembuka di atas sangat berarti bagiku dan tidak berarti aku telah ”mati”. Aku
masih hidup dengan kesadaran yang aku punya. Kesadaran merupakan modal cukup
kuat untuk menghadapi realita pengalaman hidup meskipun aku masih takut
menghadapinya. Jika aku mengasosiakan diri dengan seorang eksistensialis, bahwa
kekuatan menghadapi pengalaman terletak pada proses entah apapun hasilnya.
Sumber
inspirasi
1. Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui
Filsafat, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
2. Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis,
Jakarta: Gramedia: 1985
3. Suseno, Franz
Magnis, Etika Abad Kedua Puluh,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
4. Cuplikan film
“Existentialism 3”
[1] Zainal Abidin, Eksistensi Manusia
Sebagai Individu: Soren Aabye Kierkegaard dalam buku Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006, hal. 146.
Langganan:
Postingan (Atom)